Mbak Hayati ini kakak sepupu saya. Ibunya adalah Mbakyu ayah. Mbak Yeti, kami biasa memanggilnya begitu.
Melahirkan 6 bulan lalu. Sebenarnya saat itu dokter sudah mengatakan
kanndungannya baik-baik saja dan bisa lahir normal. Tapi Allah punya
rencana lain, tiba-tiba saja tubuhnya panas tinggi. Gejala tipus, begitu
diagnosis dokter waktu itu. Katanya bayi di rahimnya juga merasakan
panas tubuhnya yang tinggi itu. Kalau tidak segera dikeluarkan khawatir
tidak selamat.
Harus
caesar hari itu juga. Bahkan untuk sekedar sikat gigi saja tidak boleh!
Pokoknya harus sekarang secepatnya! Lahirlah bayinya. Perempuan. Bayi
itu diberi nama Agya. Singkatan dari Agung dan Hayati. Selayaknya ayah
dan ibu baru mereka sangat senang dengan lahirnya Agya. Agya adalah cucu
keempat budhe. Empat sudah cucunya. Siapa yang tidak bahagia? Ternyata
kebahagiaan ini hanya bertahan beberapa hari saja. Setelah hari itu
penglihatan Mbak Yeti berkurang. Terus berkurang hingga akhirnya sama
sekali tidak bisa melihat. Hitam. Gelap.
Stress! Pastinya! Itu
yang terjadi pada Mbak Yeti dan mungkin juga Mas Agung suaminya. Tapi
saya lihat Mas Agung masih tegar, setidaknya setiap saya bertemu, tidak
pernah terlihat sedih atau menangis. Meski dia tidak bisa menyembunyikan
di raut mukanya." Aku khawatir!"
Seminggu setelah melahirkan
Mbak Yeti harus kembali opname. Panas lagi! Bahkan harus suntik insulin.
Sementara Mbak Yeti menjalani perawatan, Agya di rumah bersama
buliknya. Lepas ASI, karena ibunya terlalu banyak mengkonsumsi
obat-obatan, dikhawatirkan itu berdampak pada Agya. Agya harus menjadi
bayi sufor sekarang. Sesekali disusui juga oleh buliknya, Mbak Nia
namanya, kebetulan Mbak Nia juga punya bayi, namanya Zoya. Sesekali Mbak
Nia juga menyusui Agya, tapi yang mendominasi tetap sufor.
Tak
hanya penglihatannya menghitam, tetapi perutnya juga sakit. Terutama di
bagian ginjalnya. Terlalu banyak obat! Mulai dari obat dokter, herbal
sampai air apalah-apalah itu. Semua sudah dijalani. Kakinya susah untuk
berjalan. Seluruh tubuhnya sakit. Tubuhnya seperti berontak. Karena itu
dia sering menangis sendiri bahkan teriak-teriak!
Mbak Yeti
domisili di Bojonegoro dan keluarga saya di Kediri, awalnya saya tidak
percaya saat ibu bercerita tentang kondisi Mbak Yeti, yang jadi kurus,
tirus dan seperti kehilangan semangat hidup sejak penglihatannya hilang.
Berat badannya yang dulu nyaris sembilan puluh hanya tinggal enam
puluhan saja. Saya jadi percaya, ketika Mbak Yeti sering sekali sms,
“Sibuk? Telepon aku!” atau tiba-tiba miscall. Itu artinya dia butuh
teman bicara Jika sudah begitu saya paling tidak bisa bilang tidak. Dia
hanya butuh teman bicara, mendengarkan semua ceritanya, keluhan dan
kesedihannya sejak penglihatan itu hilang. Dicurhati tentang hal semacam
ini sungguh menyesakkan. Saya hanya bisa mendengarkan, sesekali
menggodanya agar dia tertawa.
Dokter mendiagnosa dia terkena
toksoplasma. Dia juga pernah menjalani MRI. “Di MRI itu rasanya seperti
di kuburan Sa, apakah begitu nanti kalau mati ya” ceritanya suatu hari.
Hasil dari MRI itu menyatakan kalau ada masalah pada korneanya.
Dulu saya berpikir kalau ini malpraktik. Tapi Mbak Yeti menyanggah, “Enggak kok luka caesarku baik-baik saja”
Sejujurnya saya tidak terima dengan jawaban itu. Penglihatannya hilang
setelah caesar, apa itu bukan malpraktik namaya? Entahlah! Lagipula saya
juga tak tahu kalau memang betul mal praktik harus menuntut siapa dan
harus bagaimana. Yang jelas Mbak Yeti sudah pernah mengkonfirmasi ke
dokter caesarnya. Tapi ya begitulah!
Kami memilih
mengusahakannya. Mencari pengobatan. Mengikhlaskan semua ini sebagai
bagian dari ujian hidup. Tak hanya bagi Mbak Yeti, tapi bagi kami semua.
Setelah Mbak Yeti sakit, kami semua generasi anak-anak ini menjadi
semakin akur dan klop. Alhamdulillah!
Sepuluh hari sebelum idul
Fitri saya pulang dari Jogja, saya dan adik-adik langsung ke Bojonegoro
untuk menengok Mbak Yeti, karena dari seluruh keluarga hanya saya yang
belum menjenguknya. Benar saja. Mbak ginuk-ginuk saya itu sekarang jadi
slim, sedikit tirus dan mata yang sembab. Oh!
“Mbak serius ndak bisa lihat aku? Aku pakai baju apa?” godaku
“Ireng, hahaha” dan dia masih bisa tertawa
“Ireng, hahaha” dan dia masih bisa tertawa
Lalu hari itu saya bujuk dia untuk mau ikut ke Kediri. “Ayo Mbak, di
Kediri biar bisa refreshing, ketemu dulur-dulur, sekalian mencoba cari
penyembuhan disana” Bujukan saya manjur. Mbak Yeti ikut.
Seluruh
keluarga di Kediri menyambutnya. Yang perempuan tangis-tangisan. Ibu
saya, bulik saya. Semua! Tidak ada yang menyangka semua cerita pilu
setelah melahirkan yang sering kami lihat di tivi itu terjadi juga pada
keluarga kami.
Hari raya Idul Fitri kemarin menjadi hari raya
mengharukan karena ada Mbak Yeti di Kediri. Satu sisi kami bersyukur
setelah bertahun-tahun akhirnya tahun ini keluarga Bojonegoro bisa
ber-idul Firi bersama di Kediri, di sisi lain kami sedih, kenapa harus
seperti ini ceritanya?
Saya masih ingat betul, waktu itu ibu saya
masuk rumah tiba-tiba menangis, ibu baru saja silaturrahim dari rumah
Mas Wawan. Rumah kami dekat sekali. ‘Sakumplek dulur kabeh’ “Ndang
nggone Mbak Yeti Mbak” perintah ibu.
“Iya, tapi kenapa ibu nangis?’
“Mbak Yeti bilang begini sama ibu, Bulik, kapan ya PLN menghidupkan lampunya, kok dunyoku peteng, padahal kulo pengen ngerti wajahe Pak Nasir, Bulik Sri, adik-adik”
“Ya Allah!” pekik saya, ada yang bersesir di hati ini
“Wes ndang rono!”
“Iya, tapi kenapa ibu nangis?’
“Mbak Yeti bilang begini sama ibu, Bulik, kapan ya PLN menghidupkan lampunya, kok dunyoku peteng, padahal kulo pengen ngerti wajahe Pak Nasir, Bulik Sri, adik-adik”
“Ya Allah!” pekik saya, ada yang bersesir di hati ini
“Wes ndang rono!”
Aku kesana, masuk ke kamarnya. Matanya masih sembab. Duduk disampingnya
dan bilang, “Hei Mbak minal minul ya! Hehe” hanya bisa bilang begitu.
Hanya agar dia tidak menangis. Dia hanya memeluk saya erat sekali.
Selama di Kediri itu, saya sering sekali tiba-tiba ngusilin dia di
kamar, hanya agar dia tidak melamun. Saya biarkan dia bercerita apa
saja.
“Padahal aku tidak punya keinginan macam-macam, aku hanya
ingin menjadi istri yang baik dan ibu yang baik bagi anakku, kenapa
malah begini?”
“Padahal dulu aku membayangkan, setiap istirahat sekolah aku akan pulang sebentar, menyusui bayiku”
Sejak dia sakit, saya jadi sering ke Bojonegoro, setiap kali pulang
dari Jogja selalu kinthil Mas Wawan ke Bojonegoro. Seperti apa Mbak Yeti
sekarang? Dan Agya sekarang? Itu yang selalu membuat saya penasaran.
Idul Adha kemarin saya kesana lagi. Mbak Yeti sudah berbeda, raut mukanya cerah, sering tersenyum
“Sekarang aku sudah ikhlas Sa, aku sudah menerima semuanya!”
Dia sudah bisa sholat berdiri, dia sudah bisa gendong Agya, “bagi ibu
yang lain menidurkan bayi adalah hal biasa, tapi bagiku, Agya bisa tidur
di gendonganku itu anugrah” katanya.
Kalau Agya memegang jarinya, dia berkata begini, “Ibu mau kamu ajak kemana Nduk, doakan ibu biar ibu cepet bisa melihat ya!”
“Kalau aku bisa melihat nanti, yang ingin pertama kulihat adalah anakku Sa”
Allah memang adil. Agya kecil adalah bayi yang tidak rewel. Dia seperti
tahu ibunya sedang sakit. Setiap malam dia tidak menangis atau terjaga
seperti bayi newborn lainnya. Tangisnya juga tidak bisa ‘cenger-cenger’
tangisnya pelan sekali. Apa bayi itu merasakan semua yang terjadi?
Allah memang adil. Mbak Yeti dijodohkan dengan Mas Agung. Teman
seangkatannya saat SMP. Seusia. Saat SMP tidak saling kenal. Bertemu di
acara reuni. Sebulan kemudian lamaran lalu menikah. Kisah cinta yang
tidak rumit. Tanpa harus menunggu lama atau merasakan patah hati.
Semuanya cepat dan lancar jaya.
Sejak Mbak Yeti kehilangan
penglihatannya. Mas Agunglah yang merawat bayinya. Dibantu kakak dan
adik Mbak Yeti. Dia yang memandikan Mbak Yeti, menyuapi, mengganti
pakaian, apapun! Semua bersama Mas Agung.
Pernah check up ke RS
Mata Undaan, ke RSAL, ke pengobatan herbal, pokok apapun yang orang
sarankan didatangi. Dua hari lalu Mbak Yeti ke Jogja, untuk pertama
kalinya berobat di Dokter Haryo Sarodja Bantul Yogyakarta. Dijadwalkan
tiga minggu lagi check up kedua. Itu artinya saya dan Mbak Yeti akan
sering-sering bertemu.
Agya cukup mengerti, meski ditinggal ayah dan ibunya “golek tombo” sampai dua hari dia tidak rewel. Sekali lagi Allah adil.
“Mas, kalau sampean nggak kuat ngopeni aku, sampean boleh nikah lagi”
Mbak Yeti pernah bilang begitu ke Mas Agung. Tapi Mas Agung selalu
menolak, “Sampean ki ngomong opo to Dek, aku duso lek sampek ninggal
sampean”
Mbak Yeti pernah menceritakan percakapan itu pada saya.
Mbak Yeti dan Mas Agung telah mengajarkan saya arti cinta sebenarnya.
Cinta yang mereka miliki muncul “jalaran saka kulino” tidak ada cinta
menggebu-gebu di awal. Asal niatnya sama untuk membangun keluarga dan
saling terjaga. Lillahi. Itu saja. Semuanya mengalir.
Mas Agung
juga telah menerapkan benar makna “qobiltu nikahaha” Saya terima
nikahnya bernakna menerima seluruhnya. Seluruh bahagia dan kesedihannya,
terang dan gelap hidupnya. Long life acception without exception!
Jika keadaannya seperti Mbak Yeti begitu. Jika idealnya perempuan
melayani suaminya. Lelaki harus menafkahi. Perempuan harusnya begini dan
lelaki harusnya begitu. Semua itu tak lagi berlaku. Mas Agung resign
dari pekerjaannya dan fokus merawat Mbak Yeti, mereka hidup dari gaji
Mbak Yeti sebagai PNS. Meski kehilangan penglihatannya Mbak Yeti masih
mengajar sebisanya. Anak-anak malah menjadi hiburan baginya.
Kadang idealisme manusia hanya menjadi semacam teori jika sudah seperti
ini. Allah lebih tahu mana kisah yang terbaik untuk kita jalani. Tak ada
lagi egisme dan idealisme dalam cinta semacam mereka. Semuanya saling
mengerti dan lillahita’ala.
Jika sampean ibu atau ayah baru yang
bisa 'prucat-prucut' melahirkan dan tetap sehat, bahagia bersama bayi
yang menggemaskan, bersyukurlah. Mbak Yeti tidak bisa sebahagia itu. Ada
sedikit kesedihan mengganjal di hatinya karena ujian ini.
Jika
sampean ibu yang masih bisa pumping ASI. Lancar sekali sampai satu
frezer penuh lalu diupload ke medsos, bersyukurlah, ada Mbak Yeti yang
sangat ingin menyusui tapi tidak bisa.
Jika sampean ibu yang
bisa bermain dengan anak dan membuatnya tertawa-tawa, bersyukurlah, ada
Mbak Yeti yang melihat anaknya saja tidak bisa. Hnaua membayangkan wajah
anaknya lewat rabaan tangannya.
Jika sampean bisa update sambil
selfie “Sehat terus ya Nak kesayangan Bunda”, “ Alhamdulillah, anakku
bisa begini begitu” Bersyukurlah, ada Mbak Yeti yang tidak bisa sebangga
itu memperlihatkan ke semua orang. Jangankan update sana-sini. Melihat
senyum anaknya saja tidak bisa. Memikirkan diri sendiri saja sudah
menghabiskan air mata.
Jika sampean single yang punya idealitas
untuk pasangan hidup, ingatlah bahwa Allah selalu punya idealitas-Nya.
Selalu punya jalan cerita untuk kita. Bisa jadi itu yang kita impikan,
bisa jadi bukan, tapi sebagai manusia kita hanya harus melewatinya.
Niatkan Lillahi menyempurnakan separuh agama. Insyaallah semua akan
dicukupkan, dimampukan, dibahagiakan. Nasehat ini juga berlaku untuk
saya. Karena saya juga belum berumah tangga. Terima kasih Mbak Yeti dan
Mas Agung yang telah memberikan saya pelajaran hidup yang begitu banyak.
Tulisan ini panjang. Terima kasih bagi yang sudah membacanya.
Saya membuat tulisan ini semata-mata untuk bahan renungan saya sendiri
sebagai perempuan, kelak saya akan jadi istri dan ibu juga. Semoga bisa
juga menjadi renungan buat kita semua. Doakan ya semoga pengobatan di
Hardjo Sarodja ini pengobatan yang jodo dengan Mbak Yeti. Dokter boleh
bilang apa saja tentang mata Mbak Yeti, saya percaya tak ada kekuatan
yang lebih kuat dibandingkan doa. Tolong doakan Mbak Yeti ya... Semoga
Allah mewujudkan impiannya, bisa melihat buah hatinya. Agya.
Mbak Yeti, Allah mencintaimu. Sangat mencintaimu. Barakallah. Peluk jauh dariku. Sampai jumpa tiga minggu lagi di Jogja ya
Yogyakarta, 29 Oktober 2015
Rizza Nasir
Rizza Nasir
0 Response to "MBAK HAYATI, KEHILANGAN PENGLIHATAN SETELAH OPERASI CAESAR"
Post a Comment