Kemarin, saya kedatangan tamu. Ibu muda yang cantik dan menarik.
Belum sempat menghempaskan diri di sofa, dia sudah bertutur dengan lesu.
“Aku pengen kerja. Biar hidup ada harganya,” keluhnya.
“Aku pengen kerja. Biar hidup ada harganya,” keluhnya.
Saya tersenyum simpul. Tak ingat berapa kali kawan saya satu ini melontarkan keinginan untuk bekerja.
“Keluarga suami memandangku sebelah mata. Dikira aku cuma bisa nadah doank, minta-minta uang. Padahal rezeki suami juga rezeki siapa sih,”
Dan saya tenggelam dalam cerita yang lebih pantas disebut keluh kesah itu. Berempati terhadap masalahnya. Dan mencoba menenangkan.
Kali lain, ada kawan yang PM saya, dan bercerita tentang keinginannya berhenti kerja. Dia merasa gaji suami sudah cukup untuk menghidupi keluarga. Di samping itu, anaknya yang masih Balita membutuhkan perhatiannya.
“Tapi kalau aku berhenti kerja, apa kata mertua?”
“Lho..mertua nanti dulu kita pikir. Yang penting keridhaan suamimu ada di mana?” jawab saya.
“Suami sih sudah lama pingin aku berhenti kerja. Tapi you know lah..aku kesulitan membawa diri di depan mertua dan saudara ipar kalau ga kerja. Apalagi aku masih numpang di rumah mertua..”
Dan saya agak kesulitan membuatnya merasa tenang. Karena bolak-balik ia menyebut, “Kamu enak Lan..tinggal jauh dari mertua. Bisa kerja di rumah. Punya uang sendiri,”
Saya hanya bisa tersenyum mendengar kalimat “kerja di rumah”, “Punya uang sendiri” karena faktanya tidak sebombastis itu..
Saya jadi ingat, belakangan timeline saya dihiasi status kawan-kawan tentang perdebatan abadi antara mana yang lebih benar? Stay at home mom atau working mom. Saya tak hendak memperpanjang perdebatan ini. Karena bagi saya sudah final; seorang ibu, apa pun pekerjaannya, tetaplah ibu terbaik bagi anak mereka.
Yang saya lihat di sini, tak melulu alasan seorang ibu memilih kerja, adalah untuk uang. Dua kawan saya tadi adalah contoh bahwa status bekerja adalah modal bagi mereka untuk membawa diri di dalam keluarga suami.
“Padahal mah kalau dipikir gajiku sama uang mingguan suami ga ada apa-apanya. Tapi yang penting kan aku kerja. Ga terlalu kelihatan nadah doank..” sambung kawan saya tadi.
Benarkah mertua selalu menginginkan menantu perempuannya untuk bekerja?
Dan benarkah, perempuan yang bekerja memiliki nilai lebih di mata keluarga besar?
Saya tidak bisa menjawab soal ini. Karena saya pribadi tinggal jauh dari mertua, juga kepungan keluarga besar. Ipar-ipar saya ada yang bekerja, ada pula yang tinggal di rumah. Tapi Alhamdulillah tidak ada kenyinyiran soal status saya.
Tapi tentu kasus saya berbeda dengan kasus ibu rumahan yang lain. Seperti kawan saya yang cantik tadi, yang mengaku tertekan dengan pandangan remeh dari keluarga suami.
#PeranSuami
Saya ingat saat hendak menikah, suami membawa saya ke hadapan keluarganya. Dan memperkenalkan saya sebagai penulis, yang nantinya akan bekerja di rumah. “Wulan memang kusuruh kerja di rumah saja. Biar aku yang keluar,” kalimat “kusuruh” ini ia tegaskan berkali-kali. Meskipun, keputusan ini (pembagian tugas domestik dan mencari nafkah) adalah kompromi berdua. Tapi boleh lah saya GR, dia melakukan itu untuk melindungi saya.
Dan setelahnya memang tidak pernah ada pandangan remeh. Saya bisa dengan mudah diterima di keluarga besarnya.
Sepertinya peran suami mengambil porsi 90% untuk “mengangkat” harga diri istri yang tidak bekerja, di hadapan keluarga besar. Mungkin, keadaan istri akan sedikit tertolong jika:
1. Suami banyak menceritakan kelebihan istri di hadapan keluarga besar.
2. Suami menularkan pemahaman, bahwa prinsip dalam rumah tangga adalah gotong royong. Pembagian tugas. Bahwa jika suami sukses, bukan semata lantaran jerih payahnya. Tapi ada campur tangan istri di dalamnya.
3. Suami tetap perhatian pada keluarga, terutama orangtua. Untuk meminimalisir rasa “cemburu” keluarga. Karena toh setelah menikah, si buyung tetaplah seperti dulu.
4. Menguatkan pondasi rumahtangga. Meminimalisir konflik agar meningkatkan rasa bahagia. Tentu sikap keluarga besar akan berbeda, melihat suami yang segar dan bahagia, dengan melihat suami yang loyo dan tidak terurus.
Untukmu wahai istri yang tidak bekerja, tak usahlah berkecil hati. Hidup kita adalah milik kita, yang mungkin berbeda dengan tetangga sebelah rumah. Jika kita menghadapi cibiran keluarga besar, bisa jadi ibu bekerja pun mengalami masalah yang sama beratnya; diserang rindu pada buah hati.
Yang rumit bagi ibu rumah tangga, bisa jadi lebih rumit lagi lakon para ibu pekerja. Kita tidak pernah tahu dalamnya masalah tiap orang bukan?
Selama suami ridha, selama rezeki ada dan kita merasa cukup atasnya, abaikan saja pandangan remeh itu. Siapa tahu mereka memandang remeh karena lingkungan tidak mengajarkan mereka pasal menghargai. Justru mereka ini yang harus kita kasihani.
Dan untukmu wahai suami dari para ibu rumahtangga, ingatlah perjuangan Anda saat memetik kuntum bunga ini. Saat menghadap bapaknya, hingga beliau rela melepas anak gadisnya. Si bapak menjaga anak gadis dari bayi hingga usia dewasa, hanya untuk berbakti pada Anda. Sulitkah melindungi harga dirinya?
*bukan tulisan untuk membuka debat antara SAHM dan WM.
By Wulan Darmanto
“Keluarga suami memandangku sebelah mata. Dikira aku cuma bisa nadah doank, minta-minta uang. Padahal rezeki suami juga rezeki siapa sih,”
Dan saya tenggelam dalam cerita yang lebih pantas disebut keluh kesah itu. Berempati terhadap masalahnya. Dan mencoba menenangkan.
Kali lain, ada kawan yang PM saya, dan bercerita tentang keinginannya berhenti kerja. Dia merasa gaji suami sudah cukup untuk menghidupi keluarga. Di samping itu, anaknya yang masih Balita membutuhkan perhatiannya.
“Tapi kalau aku berhenti kerja, apa kata mertua?”
“Lho..mertua nanti dulu kita pikir. Yang penting keridhaan suamimu ada di mana?” jawab saya.
“Suami sih sudah lama pingin aku berhenti kerja. Tapi you know lah..aku kesulitan membawa diri di depan mertua dan saudara ipar kalau ga kerja. Apalagi aku masih numpang di rumah mertua..”
Dan saya agak kesulitan membuatnya merasa tenang. Karena bolak-balik ia menyebut, “Kamu enak Lan..tinggal jauh dari mertua. Bisa kerja di rumah. Punya uang sendiri,”
Saya hanya bisa tersenyum mendengar kalimat “kerja di rumah”, “Punya uang sendiri” karena faktanya tidak sebombastis itu..
Saya jadi ingat, belakangan timeline saya dihiasi status kawan-kawan tentang perdebatan abadi antara mana yang lebih benar? Stay at home mom atau working mom. Saya tak hendak memperpanjang perdebatan ini. Karena bagi saya sudah final; seorang ibu, apa pun pekerjaannya, tetaplah ibu terbaik bagi anak mereka.
Yang saya lihat di sini, tak melulu alasan seorang ibu memilih kerja, adalah untuk uang. Dua kawan saya tadi adalah contoh bahwa status bekerja adalah modal bagi mereka untuk membawa diri di dalam keluarga suami.
“Padahal mah kalau dipikir gajiku sama uang mingguan suami ga ada apa-apanya. Tapi yang penting kan aku kerja. Ga terlalu kelihatan nadah doank..” sambung kawan saya tadi.
Benarkah mertua selalu menginginkan menantu perempuannya untuk bekerja?
Dan benarkah, perempuan yang bekerja memiliki nilai lebih di mata keluarga besar?
Saya tidak bisa menjawab soal ini. Karena saya pribadi tinggal jauh dari mertua, juga kepungan keluarga besar. Ipar-ipar saya ada yang bekerja, ada pula yang tinggal di rumah. Tapi Alhamdulillah tidak ada kenyinyiran soal status saya.
Tapi tentu kasus saya berbeda dengan kasus ibu rumahan yang lain. Seperti kawan saya yang cantik tadi, yang mengaku tertekan dengan pandangan remeh dari keluarga suami.
#PeranSuami
Saya ingat saat hendak menikah, suami membawa saya ke hadapan keluarganya. Dan memperkenalkan saya sebagai penulis, yang nantinya akan bekerja di rumah. “Wulan memang kusuruh kerja di rumah saja. Biar aku yang keluar,” kalimat “kusuruh” ini ia tegaskan berkali-kali. Meskipun, keputusan ini (pembagian tugas domestik dan mencari nafkah) adalah kompromi berdua. Tapi boleh lah saya GR, dia melakukan itu untuk melindungi saya.
Dan setelahnya memang tidak pernah ada pandangan remeh. Saya bisa dengan mudah diterima di keluarga besarnya.
Sepertinya peran suami mengambil porsi 90% untuk “mengangkat” harga diri istri yang tidak bekerja, di hadapan keluarga besar. Mungkin, keadaan istri akan sedikit tertolong jika:
1. Suami banyak menceritakan kelebihan istri di hadapan keluarga besar.
2. Suami menularkan pemahaman, bahwa prinsip dalam rumah tangga adalah gotong royong. Pembagian tugas. Bahwa jika suami sukses, bukan semata lantaran jerih payahnya. Tapi ada campur tangan istri di dalamnya.
3. Suami tetap perhatian pada keluarga, terutama orangtua. Untuk meminimalisir rasa “cemburu” keluarga. Karena toh setelah menikah, si buyung tetaplah seperti dulu.
4. Menguatkan pondasi rumahtangga. Meminimalisir konflik agar meningkatkan rasa bahagia. Tentu sikap keluarga besar akan berbeda, melihat suami yang segar dan bahagia, dengan melihat suami yang loyo dan tidak terurus.
Untukmu wahai istri yang tidak bekerja, tak usahlah berkecil hati. Hidup kita adalah milik kita, yang mungkin berbeda dengan tetangga sebelah rumah. Jika kita menghadapi cibiran keluarga besar, bisa jadi ibu bekerja pun mengalami masalah yang sama beratnya; diserang rindu pada buah hati.
Yang rumit bagi ibu rumah tangga, bisa jadi lebih rumit lagi lakon para ibu pekerja. Kita tidak pernah tahu dalamnya masalah tiap orang bukan?
Selama suami ridha, selama rezeki ada dan kita merasa cukup atasnya, abaikan saja pandangan remeh itu. Siapa tahu mereka memandang remeh karena lingkungan tidak mengajarkan mereka pasal menghargai. Justru mereka ini yang harus kita kasihani.
Dan untukmu wahai suami dari para ibu rumahtangga, ingatlah perjuangan Anda saat memetik kuntum bunga ini. Saat menghadap bapaknya, hingga beliau rela melepas anak gadisnya. Si bapak menjaga anak gadis dari bayi hingga usia dewasa, hanya untuk berbakti pada Anda. Sulitkah melindungi harga dirinya?
*bukan tulisan untuk membuka debat antara SAHM dan WM.
By Wulan Darmanto
0 Response to "**Untukmu yang Tidak Bekerja**"
Post a Comment