Kemarin, sahabat saya, seorang dokter spesialis, bercerita tentang
beberapa koleganya yang sedemikian stress dalam mencari uang. Ada dokter
yang sedemikian sibuk praktik di
berbagai tempat, habis waktunya untuk praktik di sana sini, dan dia
mengeluhkan penghasilannya yang 'hanya' di kisaran Rp. 50 juta per
bulan. Dia berkeluh kesah untuk kondisi sebagai berikut: memiliki
beberapa rumah dan apartemen, anak sulung sudah bekerja dan kini tinggal
si bungsu yang akan lulus (kedua anaknya sekolah di Institut Terkenal
Banget), dan sebentar lagi dia hanya akan tinggal berdua saja dengan
istrinya. Setelah mendengar sekian banyak keluh kesahnya, sahabat saya
balik bertanya: "Jadi, sebenarnya Anda ini miskin di mananya sih?" Dan
sang kolega pun bungkam seribu bahasa.
Di sisi lain, sahabat saya ini, menangani seorang bayi hydrocephalus.
Bayi ini anak kedua seorang janda; anak pertamanya normal. Saat tengah
mengandung anak kedua--yang ternyata hydrocephalus itu--suaminya
mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia. Kini dia harus menanggung
dua orang anak, dan anak kedua yang hydrocephalus, dengan hanya bekerja
serabutan dan penghasilan tak menentu. Namun, setiap sebulan sekali dia
mendatangi sahabat saya untuk memeriksakan anaknya, dan dengan wajah
cerah, tanpa sedikit pun keluh kesah terlontar dari lisannya, ibu itu
berkata: "Bohong dok, kalau ada orang yang bilang bahwa kita tidak punya
rejeki dari-Nya."
Tak terasa, saya pun menitikkan air mata mendengarkan optimisme dan kepercayaan sang ibu tunggal dengan dua anak tersebut dalam menjalani hidup. Kalau orang seperti saya berkata seperti itu, tidaklah istimewa. Namun, seorang janda yang kerja serabutan dengan dua anak, dan anak bungsunya hydrocephalus, masih punya kepercayaan dan optimisme seperti itu akan kehidupan dan rejeki, sungguh saya mendadak menjadi merasa malu kepadanya. Sementara, seorang dokter dengan penghasilan puluhan juta rupiah tiap bulan dan dua anak yang sehat serta sukses dalam pendidikan dan kerja, ternyata malah sibuk berkeluh kesah karena merasa miskin dan susah bersyukur dengan kekayaan yang dimilikinya.
Tahukah Anda, sahabat saya ini adalah anak seorang direktur utama perusahaan minyak. Sejak kecil, hidupnya sudah dalam keadaan sangat berkecukupan. Saat liburan sekolah, dia pergi ke Amerika mengunjungi Bapaknya dengan pesawat di kelas eksekutif, yang isinya hanya 6 orang dalam ruangan itu dan para pramugari hapal nama penumpang di kelas itu. Dijemput dengan limousin saat sampai di bandara. Memiliki laptop ketika barang tersebut masih jadi barang mewah. Namun, dia malah tumbuh jadi seseorang yang sederhana, tidak mau hidup berlebihan. Dia menjadi dokter spesialis yang bekerja tanpa berpikir soal apakah dia akan dibayar mahal ataukah hanya dibayar oleh BPJS. Dia memecahkan rekor menangani pasien terbanyak di rumah sakit tempat dia bekerja, padahal banyak dari pasiennya adalah orang tak mampu. Hasilnya? Dia sendiri terkejut ketika penghasilan dia malah melampaui para seniornya yang ogah-ogahan menangani pasien tak mampu. Apa yang terjadi? Para dokter senior itu protes dan meminta mereka dibagi rata soal pembayaran walau ogah-ogahan menangani pasien tak mampu. Sahabat saya itu berkata: "Kang, kalau kita baca Juz 'Amma, kita akan melihat bahwa Allah sudah mengingatkan berulang kali bahwa sesungguhnya penyebab manusia 'terjatuh' itu adalah karena cinta pada kehidupan dunia." Suaminya, yang nota bene sahabat saya sejak masa kuliah, dan pernah jadi seorang direktur perusahaan keuangan, menasehati istrinya begini: "Tangani semua pasien dengan sepenuh hati, jangan hanya mengejar uang, karena kita tidak tahu dari pasien yang mana kita akan mendapat berkah dan pertolongan dari Allah Ta'ala."
Saya tersenyum bahagia melihat mereka berdua. Saya bahagia melihat bahwa mursyid kami telah mendidik sepasang suami istri--yang merupakan sahabat baik saya--menjadi seperti itu. Bahwa Allah Ta'ala telah menjaga mereka dari kecintaan kepada dunia. Sahabat saya tersebut berkata: "Kalau seseorang tidak bisa menerima apa pun yang dia punya saat ini, memiliki angan-angan panjang ingin menjadi kaya--hanya karena selalu membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain, dengan teman-temannya yang lebih berlimpah harta--maka dia tidak akan pernah bisa bersyukur dan menjadi orang yang depresif, mudah meledak dan marah karena memendam banyak kekecewaan terhadap kehidupan sebab angan-angan panjangnya tak ada yang tercapai. Akibatnya, selain hidupnya tak pernah bisa bahagia, dia pun menjadi seperti dinamit bagi orang-orang di sekitarnya."
Saya jadi teringat sepenggal nasihat dari Mursyid saya di bawah ini:
Setiap kita lahir ke dunia ini dengan warna kehidupan yang telah ditetapkan, kita tidak punya peran dalam menentukan siapa orang tua kita, dari kalangan keluarga mana kita berasal, bagaimana bentuk tubuh kita, warna kulit hingga talenta yang dimiliki. It's all given.
Begitu pun lembaran-lembaran kehidupan yang telah berlalu, suka-duka, berhasil atau gagalnya hingga catatan kehidupan yang dianggap kelam atau memalukan, semua telah menjadi bagian dari diri kita masing-masing yang tak terpisahkan.
Sayangnya sebagian besar manusia cenderung ingin melarikan diri dari takdir kehidupannya masing-masing. Tidak menerima ketetapan-Nya dan selalu ingin menjadi seseorang yang bukan dirinya sejati. Kebanyakan manusia cenderung mengkhianati dirinya sehingga alih-alih hidup mengalir dalam jati dirinya, ia akan mencoba mengambil persona yang dianggap 'baik' dan 'sukses' oleh orang kebanyakan.
Demikianlah, ketika paradigma kesuksesan seseorang diukur dari tataran duniawi; sekaya apa dia, setinggi apa jabatan, posisi atau pendidikannya atau bahkan yang tampaknya lebih 'spiritual',misalnya seperti 'sebanyak apa pengikutnya'. Apa pun itu yang penting kelihatan 'hebat' di mata kebanyakan manusia.
Dengan cara pandang seperti itu manusia akan terdorong untuk senantiasa merengkuh sesuatu yang di luar jangkauannya per hari ini. Atau bahkan menafikan sekian penggal kehidupan di masa lalu yang ia anggap sebuah 'kegagalan' dan dipandang memalukan.
Sepanjang seseorang belum bisa menerima takdir kehidupan apa adanya dan berkata "tidak ada satu pun ketetapan-Nya yang sia-sia", sepanjang itu pula dia belum menjadi hamba-Nya yang bersyukur.
Tak terasa, saya pun menitikkan air mata mendengarkan optimisme dan kepercayaan sang ibu tunggal dengan dua anak tersebut dalam menjalani hidup. Kalau orang seperti saya berkata seperti itu, tidaklah istimewa. Namun, seorang janda yang kerja serabutan dengan dua anak, dan anak bungsunya hydrocephalus, masih punya kepercayaan dan optimisme seperti itu akan kehidupan dan rejeki, sungguh saya mendadak menjadi merasa malu kepadanya. Sementara, seorang dokter dengan penghasilan puluhan juta rupiah tiap bulan dan dua anak yang sehat serta sukses dalam pendidikan dan kerja, ternyata malah sibuk berkeluh kesah karena merasa miskin dan susah bersyukur dengan kekayaan yang dimilikinya.
Tahukah Anda, sahabat saya ini adalah anak seorang direktur utama perusahaan minyak. Sejak kecil, hidupnya sudah dalam keadaan sangat berkecukupan. Saat liburan sekolah, dia pergi ke Amerika mengunjungi Bapaknya dengan pesawat di kelas eksekutif, yang isinya hanya 6 orang dalam ruangan itu dan para pramugari hapal nama penumpang di kelas itu. Dijemput dengan limousin saat sampai di bandara. Memiliki laptop ketika barang tersebut masih jadi barang mewah. Namun, dia malah tumbuh jadi seseorang yang sederhana, tidak mau hidup berlebihan. Dia menjadi dokter spesialis yang bekerja tanpa berpikir soal apakah dia akan dibayar mahal ataukah hanya dibayar oleh BPJS. Dia memecahkan rekor menangani pasien terbanyak di rumah sakit tempat dia bekerja, padahal banyak dari pasiennya adalah orang tak mampu. Hasilnya? Dia sendiri terkejut ketika penghasilan dia malah melampaui para seniornya yang ogah-ogahan menangani pasien tak mampu. Apa yang terjadi? Para dokter senior itu protes dan meminta mereka dibagi rata soal pembayaran walau ogah-ogahan menangani pasien tak mampu. Sahabat saya itu berkata: "Kang, kalau kita baca Juz 'Amma, kita akan melihat bahwa Allah sudah mengingatkan berulang kali bahwa sesungguhnya penyebab manusia 'terjatuh' itu adalah karena cinta pada kehidupan dunia." Suaminya, yang nota bene sahabat saya sejak masa kuliah, dan pernah jadi seorang direktur perusahaan keuangan, menasehati istrinya begini: "Tangani semua pasien dengan sepenuh hati, jangan hanya mengejar uang, karena kita tidak tahu dari pasien yang mana kita akan mendapat berkah dan pertolongan dari Allah Ta'ala."
Saya tersenyum bahagia melihat mereka berdua. Saya bahagia melihat bahwa mursyid kami telah mendidik sepasang suami istri--yang merupakan sahabat baik saya--menjadi seperti itu. Bahwa Allah Ta'ala telah menjaga mereka dari kecintaan kepada dunia. Sahabat saya tersebut berkata: "Kalau seseorang tidak bisa menerima apa pun yang dia punya saat ini, memiliki angan-angan panjang ingin menjadi kaya--hanya karena selalu membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain, dengan teman-temannya yang lebih berlimpah harta--maka dia tidak akan pernah bisa bersyukur dan menjadi orang yang depresif, mudah meledak dan marah karena memendam banyak kekecewaan terhadap kehidupan sebab angan-angan panjangnya tak ada yang tercapai. Akibatnya, selain hidupnya tak pernah bisa bahagia, dia pun menjadi seperti dinamit bagi orang-orang di sekitarnya."
Saya jadi teringat sepenggal nasihat dari Mursyid saya di bawah ini:
Setiap kita lahir ke dunia ini dengan warna kehidupan yang telah ditetapkan, kita tidak punya peran dalam menentukan siapa orang tua kita, dari kalangan keluarga mana kita berasal, bagaimana bentuk tubuh kita, warna kulit hingga talenta yang dimiliki. It's all given.
Begitu pun lembaran-lembaran kehidupan yang telah berlalu, suka-duka, berhasil atau gagalnya hingga catatan kehidupan yang dianggap kelam atau memalukan, semua telah menjadi bagian dari diri kita masing-masing yang tak terpisahkan.
Sayangnya sebagian besar manusia cenderung ingin melarikan diri dari takdir kehidupannya masing-masing. Tidak menerima ketetapan-Nya dan selalu ingin menjadi seseorang yang bukan dirinya sejati. Kebanyakan manusia cenderung mengkhianati dirinya sehingga alih-alih hidup mengalir dalam jati dirinya, ia akan mencoba mengambil persona yang dianggap 'baik' dan 'sukses' oleh orang kebanyakan.
Demikianlah, ketika paradigma kesuksesan seseorang diukur dari tataran duniawi; sekaya apa dia, setinggi apa jabatan, posisi atau pendidikannya atau bahkan yang tampaknya lebih 'spiritual',misalnya seperti 'sebanyak apa pengikutnya'. Apa pun itu yang penting kelihatan 'hebat' di mata kebanyakan manusia.
Dengan cara pandang seperti itu manusia akan terdorong untuk senantiasa merengkuh sesuatu yang di luar jangkauannya per hari ini. Atau bahkan menafikan sekian penggal kehidupan di masa lalu yang ia anggap sebuah 'kegagalan' dan dipandang memalukan.
Sepanjang seseorang belum bisa menerima takdir kehidupan apa adanya dan berkata "tidak ada satu pun ketetapan-Nya yang sia-sia", sepanjang itu pula dia belum menjadi hamba-Nya yang bersyukur.
0 Response to "REZEKI ALLAH ITU LUAS"
Post a Comment