Dalam bahasa Jawa, terdapat penyimpangan pola
penamaan bilangan yang konon memiliki falsafah yang amat mendalam jika
dikaitkan dengan penyebutan usia seseorang. Jika dicermati dengan seksama,
penyimpangan ini memang berbeda dari lazimnya penyebutan angka-angka di
kepulauan melayu atau nusantara.
Penyimpangan tersebut terjadi mulai dari beberapa
angka belasan hingga sampai angka 60. Ya, sampai angka 60 saja! Hal ini semakin
menguatkan dugaan bahwa penyebutan tersebut memang erat kaitannya dengan usia
manusia, mengingat usia 60 merupakan rata-rata panjang usia seseorang.
Keunikan penamaan angka jawa
Dalam bahasa Jawa, angka 11 tidak disebut sebagai
‘sepuluh siji’, 12 bukan ‘sepuluh loro’, 13 bukan ‘sepuluh telu’ dan seterusnya
hingga angka 19 yang tidak disebut sebagai ‘sepuluh songo’. Namun, angka 11
disebut sebagai ‘sewelas’, 12 disebut sebagai ‘rolas’ dan seterusnya hingga 19
yang disebut sebagai ‘songolas’.
Apa makna dibalik semua ini? Mengapa sepuluhan diganti dengan welasan?
Filosofinya, bahwa pada usia 11 tahun hingga 19
tahun adalah saat-saat berseminya rasa welas asih (belas kasih) pada jiwa
seseorang, terutama terhadap lawan jenis. Itulah usia di mana seseorang
memasuki masa akil baligh, masa remaja.
Asal usul angka Jawa Selawe seket dan sewidak
Sementara dalam banyak bahasa, bilangan 11 hingga 19
memang diberi nama dengan pola yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia disebut
dengan belasan. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan teen, sehingga
para remaja pada usia tersebut disebut teenagers.
Seterusnya, bilangan 21 hingga 29 dalam bahasa Jawa juga dinamakan berbeda dengan pola umum yang ada.
Dalam bahasa lain biasanya sesuai pola. Misal dalam
bahasa Indonesia diucapkan dua puluh satu, dua puluh dua, dan begitu seterusnya
hingga dua puluh sembilan.
Sedangkan dalam bahasa jawa tidak demikian, angka 21
tidak disebut sebagai ‘rongpuluh siji’, 22 tidak disebut rongpuluh loro, dst,
melainkan 21 disebut selikur, 22 disebut rolikur, dan seterusnya hingga 29 yang
disebut songo likur, kecuali angka 25 yang disebut sebagai selawe.
Di sini terdapat satuan Likur yang tidak lain
merupakan kependekan dari LIngguh KURsi, artinya duduk di kursi.
Kenapa 25 itu Selawe , 50 itu Seket dan 60 Sewidak?
Mengapa disebut demikian? Falsafahnya, bahwa pada
usia 21 hingga 29 itulah pada umumnya manusia mendapatkan “tempat duduknya”,
baik itu berupa pekerjaannya, profesi yang akan ditekuni dalam kehidupannya;
apakah sebagai pegawai, pedagang, seniman, penulis, dan lain sebagainya.
Bahkan yang lebih menarik, angka 25 memiliki sebutan
khusus, yang mana bilangan 25 tidak disebut sebagai limang likur, melainkan
selawe.
Apa maknanya, Selawe konon merupakan singkatan dari
SEneng-senenge LAnang lan WEdok, itulah puncak asmaranya seorang laki-laki dan
perempuan, yang ditandai oleh pernikahan. Maka pada usia tersebutlah (25) pada
umumnya seorang laki-laki berumah tangga (dadi manten),
Memang tidak semua orang menikah pada usia tersebut,
tapi jika dirata-rata memang di antara usia 21-29. Pada saat kedudukan sudah
diperoleh, pada saat itulah seseorang siap untuk menikah.
Dari angka 30 hingga 49, penamaan angka dibaca
normal seusai pola urutan, misalnya telung puluh, telung puluh siji, telung
puluh loro, dst.
Tapi ada penyimpangan lagi nanti pada bilangan 50.
Mestinya, angka ini disebut sebagai limang puluh, namun sebutan populernya
tidaklah demikian, angka 50 lebih sering disebut dengan seket.
Apa makna dibalik semua ini? Konon SEKET merupakan
kependekan dari kalimat SEneng KEthonan, artinya suka memakai kethu alias tutup
kepala/topi/kopiah dan sebagainya.
Hal ini menandakan usia seseorang semakin lanjut,
dan tutup kepala merupakan lambang dari semua itu. Selain itu tutup kepala
merupakan alat untuk menutup rambut yang mulai botak atau memutih.
Di sisi lain, tutup kepala bisa juga berupa kopiah
yang melambangkan orang yang sedang beribadah.
Memang demikian, pada usia 50 sudah seharusnya
seseorang lebih memperhatikan ibadahnya. Setelah sejak umur likuran bekerja
keras mencari kekayaan untuk kehidupan dunia, sekitar 25 tahun kemudian, yaitu
pada usia 50 perbanyaklah ibadah, untuk bekal memasuki kehidupan akhirat.
Lain 50, lain pula 60. Angka ini tidak populer
dengan sebutan enem puluh, tapi lebih sering disebut dengan sewidak atau
suwidak.
Usut punya usut, konon sewidak merupakan kependekan
dari ‘SEjatine WIs wayahe tinDAK’.
Maknanya, sesungguhnya pada usia tersebut sudah saat
seseorang bersiap-siap untuk pergi meninggalkan dunia fana ini. Maka kalau usia
kita sudah mencapai 60, lebih berhati-hatilah dan tentu saja semakin banyaklah
bersyukur, karena usia selebihnya adalah bonus dari Yang Maha Kuasa.
Itulah keunikan dan filosofi yang dalam dari
penamaan angka-angka Jawa. Ternyata di balik penamaannya, ada sebuah nasehat
yang tersirat. Untuk itulah sebagai orang Jawa sudah semestinya kita tak hanya
bisa mengucapkan kata-kata atau kalimat Bahasa Jawa, tapi juga mencari tahu
maknanya agar kita lebih paham dan mengerti makna-makna yang tersirat di
dalamnya. Semoga bermanfaat dalam menambah ilmu dan wawasan kita.
Sumber : BlogIlyas
0 Response to "Filosofi Angka Jawa yang Tak Hanya Sekedar Unik Tapi Juga Punya Makna yang Dalam "
Post a Comment